Kamis, 16 Juni 2011

ANALISIS YURIDIS PENGENAAN PUNGUTAN ROYALTI TERHADAP FILM IMPOR  SESUAI SURAT EDARAN DIREKTUR JENDRAL PAJAK NOMOR SE-/PJ/2011 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS ROYALTI DAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMASUKAN FILM IMPOR

A.       Latar Belakang
1.      Awal Masalah
Tanggal 17 Februari 2011 memiliki arti yang penting bagi pecinta film impor, khususnya film Hollywood di Indonesia. Sejak saat itu pasokan film Hollywood yang berasal dari Amerika Serikat terhenti masuk ke Indonesia dan masih berlangsung sampai tulisan ini dibuat. Alasan berhentinya pasokan film impor tersebut sampai saat ini masih simpang siur karena pihak-pihak yang berkepentingan mengeluarkan penyataan menurut versinya masing-masing yang bertentangan satu sama lain.
 Menurut Noorca M. Massardi selaku juru bicara perusahaan 21cineplex dan ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) alasan berhentinya pasokan film impor tersebut disebabkan pihak Motion Picture Association Of America (MPAA[1]) melakukan aksi mogok sebagai reaksi terhadap peraturan perpajakan baru yang dikeluarkan pemerintah Indonesia[2]. Menurutnya aturan perpajakan baru tersebut merupakan aturan yang tidak lazim yang tidak pernah ada di dalam industri perfilman di seluruh dunia[3].
Beberapa waktu kemudian atau tepatnya 23 Februari 2011 isu mogoknya MPAA tersebut dibantah oleh pihak MPAA sendiri. Presiden direktur MPAA untuk wilayah Asia Pasifik, Mike Ellis menyatakan bahwa MPAA sama sekali tidak terlibat dalam masalah berhentinya pasokan film Hollywood di Indonesia[4]. Pemerintah Indonesia sendiri melalui Menteri Keuangan Agus Martawardjojo mengatakan berhentinya pasokan film Hollywood ke Indonesia disebabkan karena pihak importir film asing belum membayarkan pajak royalti yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah. Nilai tunggakan importir film asing tersebut berjumlah kurang lebih 30 milyar rupiah yang berasal dari importasi 250 judul film impor selama kurun waktu 2 tahun terakhir dan belum termasuk denda yang mencapai kurang lebih 300 milyar rupiah[5].
Apapun penyebab berhentinya pasokan film impor di Indonesia, situasi ini yang jelas memukul industri perfilman di Indonesia, khususnya pecinta film Hollywood di tanah air, karena hampir 75% film yang beredar di bioskop merupakan film-film yang didistribusikan oleh MPAA melalui partner lokalnya di Indonesia. Tidak hanya pecinta film Hollywood saja, nasib pengusaha dan karyawan di dalam industri bioskop yang berjumlah tidak kurang dari 10.000 orang juga turut terancam. Hal tersebut dikarenakan dengan berkurangnya sebagian besar pasokan film terhadap pengusaha bioskop akan mengakibatkan turut berkurangnya sebagian besar pemasukan pengusaha bioskop tersebut yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya atau bahkan lebih buruknya ambruknya industri bioskop di Indonesia. Angka tersebut belum meliputi nasib sejumlah pengusaha beserta karyawannya yang secara tidak langsung menggantungkan hidupnya di dalam industri bioskop seperti misalnya pengusaha restoran, suvenir dan lain sebagainya yang berjualan di sekitar bioskop[6].
Masalah ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya pecinta film Hollywood. Di satu pihak ada yang mendukung kebijakan pemerintah dalam bidang perpajakan melalui aturan baru terhadap film impor tersebut karena selama ini pungutan terhadap film impor dianggap terlalu rendah sehingga mematikan industri perfilman lokal karena perfilman lokal mendapat pajak dengan jumlah yang lebih tinggi, sehingga mengakibatkan film lokal kurang dapat bersaing dengan film impor. Di pihak lain ada yang menentang kebijakan tersebut karena dianggap dengan berhentinya pasokan film Hollywood akan mematikan industri perfilman dan bioskop itu sendiri yang lambat laut akan menciptakan pengangguran.

2.      Aspek Hukum
Peraturan baru yang menjadi sumber polemik masalah ini adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE – 3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor (“SE Dirjen Pajak”). SE Dirjen Pajak tersebut merupakan penegasan dan penafsiran atas peraturan perundangan lainnya yang lebih tinggi (lex superiori) dan memang sudah ada sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. SE Dirjen Pajak tersebut di atas pada intinya menyatakan bahwa setiap film impor yang masuk ke Indonesia dikenakan pajak royalti yang dihitung dari pemasukan kotor peredaran suatu film impor sebesar 20%  yang dihitung dari pendapatan kotor peredaran film tersebut di seluruh Indonesia.
Hal tersebut menimbulkan keberatan dari MPAA dan khususnya PT. Camilla Internusa Film, PT. Satrya Perkasa Esthetika dan PT. Amero Mitra Film selaku rekan distributor lokal dari film-film MPAA di Indonesia. Keberatan tersebut dikarenakan sebelumnya film impor yang mereka distribusikan telah dikenakan bea masuk, PPn dan PPh sebesar 23,75% . Pajak tersebut dihitung dari bea masuk barang sebesar 0,43 US$ per meter yang dihitung dari panjang pita seluloid 35 mm yang merupakan format kebanyakan dari film impor, sehingga hal tersebut mengakibatkan pungutan berganda terhadap film impor.
Dalam tulisan ini Penulis tidak akan membahas mengenai masalah film impor ini terlalu luas tetapi akan secara spesifik membahas mengenai aspek yuridisnya saja, terutama mengenai masalah perpajakannya khususnya mengenai keabsahan pengenaan pajak royalti terhadap film impor dalam tulisannya yang berjudul: “Analisis Yuridis Pengenaan Pungutan Royalti Terhadap Film Impor Sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE – 3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor”

B.        Identifikasi Masalah
1.      Bagaimanakah keabsahan pajak royalti terhadap film impor  sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE – 3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor mengingat film impor sebelumnya juga sudah dikenakan pajak lainnya menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan?
2.      Bagaimanakah solusi dalam masalah pajak terhadap film impor?


C.       Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui keabsahan pajak royalti terhadap film impor  sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE – 3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor mengingat film impor sebelumnya juga sudah dikenakan pajak lainnya menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
2.      Untuk mengetahui solusi yang tepat dalam masalah pajak terhadap film impor.

D.       Metode Penelitian
1.        Metode Pendekatan
Metode pendekatan penelitian dalam tesis ini menggunakan metode pendekatan penelitian yuridis normatif. Metode yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan mengutamakan cara meneliti data atau bahan perpustakaan yang merupakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, berbagai macam literatur, dan internet yang didukung oleh penelitian lapangan yang merupakan data primer[7]. Tindakan-tindakan yang termasuk pula dalam lingkup metode penelitian yuridis normatif antara lain[8]:
a.       Penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif,
b.      Penelitian yang berupa usaha-usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma / doktrin) hukum positif.
Pada penelitian yuridis normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder yang ada dalam keadaan siap terbit, bentuk, dan isinya telah disusun peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa melihat waktu dan tempat[9]. Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup[10]:
1)      Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Contohnya adalah peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang akan digunakan adalah undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan hukum pajak, khususnya mengenai royalti yang diatur dalam peraturan perundangan tentang pajak penghasilan.
2)      Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini akan melengkapi bahan hukum primer. Contohnya adalah doktrin-doktrin atau pendapat para ahli, hasil penelitian akademisi, karya-karya ilmiah para sarjana, jurnal-jurnal, dan tulisan lainnya yang bersifat ilmiah terutama yang berkaitan dengan permasalah yang penulis bahas di dalam tulisan ini.
3)      Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus umum, kamus istilah hukum, ensiklopedia dan lain-lain
2.        Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu memberikan data atau gambaran serta analisis  dari keabsahan pajak royalti terhadap film impor dan solusi yang tepat terhadap masalah tersebut.




Bab II
PUNGUTAN ROYALTI TERHADAP FILM IMPOR

A.       Tinjauan Pungutan Royalti Dalam Hukum Positif
Royalti diatur Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan merupakan pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain[11]. Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas[12] :
1.         Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, disain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya;
2.         Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah;
3.         Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial;
4.         Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1., penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2., atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3 berupa:
a.       Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b.       Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c.       Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5.         Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
6.         Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Atas pembayaran royalti tersebut dikenakan pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, dengan tarif 20% dari jumlah bruto. Pembayaran royalti kepada wajib pajak luar negeri selain kepada bentuk usaha tetap (BUT) dipotong/dikenakan pajak penghasilan sebesar 20% dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan[13].

B.        Film Impor Sebagai Objek Pungutan Royalti
Film impor sebagai objek pemungutan royalti diatur lebih spesifik dalam Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor.  Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
1.      Pajak Penghasilan
a.       Atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26 oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra;
b.      Apabila atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pembelian film impor tersebut:
1)            seluruh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari; atau
2)            diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya, maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26;
2.      Pajak Pertambahan Nilai
a.       Pemasukan film impor merupakan kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, berupa hasil karya sinematografi yang merupakan hak kekayaan intelektual yang disimpan dalam media baik berupa roll film ataupun media penyimpanan yang lain, dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
b.      Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar;
c.       Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak;
d.      Perlu diperhatikan bahwa pada saat pemasukan film impor telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai impor. Oleh karena itu Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan film impor yang terutang pada saat pemasukan film tersebut adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar, dikurangi dengan nilai impor;
e.       Atas pembayaran royalti film impor sebagai hasil peredaran film di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar.

C.       Pemungutan Selain Royalti Terhadap Film Impor
Selain dikenakan pemungutan royalti, film impor juga dikenakan bea masuk. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang yang memasuki daerah pabean. Bea masuk diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. film impor termasuk objek dari bea masuk, karena yang dimaksud dengan bea masuk dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.  Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk (pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan). Mengenai Tarif Bea Masuk[14] : 
1.      Barang impor dipungut bea masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan bea masuk. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum dalam ayat ini ditetapkan setinggi-tingginya empat puluh persen termasuk bea masuk tambahan (BMT) yang pada waktu diundangkannya undang-undang ini masih dikenakan terhadap barang-barang tertentu. Namun, dengan tetap memperhatikan kemampuan daya saing industri dalam negeri, kebijaksanaan umum di bidang tarif harus senantiasa ditujukan untuk menurunkan tingkat tarif yang ada dengan tujuan:
a.       meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasaran internasional;
b.      melindungi konsumen dalam negeri; dan
c.       mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dalam rangka mendukung terciptanya perdagangan bebas.
2.      Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana yang tercantum di atas:
a.       barang impor hasil pertanian tertentu;
b.      barang impor   termasuk   dalam   daftar  eksklusif  jadwal  XXI-Indonesia   pada Persetujuan Umum Mengenai tarif dan Perdagangan; dan
c.       barang impor sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan.
Untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar, barang dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi barang.  Ketentuan tentang klasifikasi barang diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri keuangan RI Nomor 241/PMK.011/2010 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.



            BAB III
MASALAH DALAM PAJAK FILM IMPOR
A.      Mekanisme Distribusi Film Impor
Mekanisme penayangan sebuah film impor hingga bisa ditonton oleh masyarakat di bioskop di Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan negara lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari adanya beberapa pihak yang terlibat secara langsung dari mulai film tersebut dibuat sampai dengan tayangnya di layar lebar. Pihak yang terlibat langsung tersebut adalah rumah produksi film, distributor dan penyelenggara tayangan atau biasa disingkat dengan bioskop.
Secara singkat rumah produksi adalah pihak yang membuat film, distributor adalah pihak yang menyalurkan film tersebut untuk dijual hingga sampai ke seluruh dunia, sedangkan bioskop adalah pihak yang menayangkan film tersebut kepada masyarakat. Secara teoretis ketiga pihak tersebut adalah badan usaha yang berbeda, namun praktiknya rumah produksi bisa saja merangkap sebagai distributor dan distributor bisa merangkap menjadi bioskop.
Setelah suatu film selesai dibuat oleh rumah produksi (production house) selanjutnya film tersebut didistribusikan oleh distributor untuk dijual kepada bioskop dan melalui bioskop masyarakat selaku konsumen dapat menikmati tayangan film impor tersebut. Umumnya perusahaan yang bergerak di bidang rumah produksi, distributor dan bioskop adalah perusahaan yang berbeda, namun tidak tertutup dalam beberapa perusahaan, ketiga pihak yang memiliki peranan penting dalam film tersebut adalah satu perusahaan yang sama atau setidaknya masih dalam satu kepemilikan pengusaha yang sama, meski dalam badan usaha yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena biasanya pengusaha tersebut memiliki modal usaha (capital) yang besar dan jaringan usaha (network) yang kuat
Contoh dari distributor (internasional) yang sudah terkenal dan memiliki reputasi yang baik misalnya saja seperti Walt Disney, Sony Pictures, Paramount Pictures, 20th Century Fox, Universal Studios dan Warner Bros yang semuanya berasal dari Hollywood, Amerika Serikat (AS). Selain bertindak sebagai distributor, keenam perusahaan tersebut juga bertindak sebagai rumah produksi film. Untuk mempermudah pendistribusian ke seluruh negara hingga sampai ke bioskop di seluruh dunia, keenam distributor besar tersebut membuat suatu wadah bersama yang tergabung dalam suatu asosiasi yang dinamakan Motion Picture Association Of America (MPAA).
Di Indonesia sendiri walau perusahaannya berbeda, namun sudah menjadi rahasia yang umum bahwa PT. Camilla Internusa Film, PT. Satrya Perkasa Esthetika dan PT. Amero Mitra Film selaku perusahaan yang menguasai 75% jaringan distribusi film impor di Indonesia masih pengusaha yang sama dengan pengusaha yang memiliki jaringan bioskop terbesar di Indonesia, yaitu 21cineplex dan XXIcineplex yang sama-sama menguasai hampir 75% jaringan bioskop di seluruh Indonesia. MPAA sendiri dalam memasarkan film-film yang mereka buat dan distribusikan tersebut di Indonesia tidak langsung bernegosiasi dengan pengusaha bioskop di Indonesia untuk menayangkan filmnya, tetapi MPAA bekerja sama dengan distributor film impor di Indonesia terlebih dahulu. Hal inilah yang menjadi keunikan sistem pemasaran film impor di Indonesia, karena di negara lain MPAA ataupun perusahaan yang tergabung dalam MPAA tersebut justru membuat distributor cabang dari jaringan internasionalnya tanpa melibatkan distributor film impor dar Indonesia.
Adapun distributor Indonesia yang dimaksud disini adalah PT. Camilla Internusa Film dan PT. Satrya Perkasa Esthetika itu tadi. Kedua distributor tersebut memang bukan satu-satunya distributor lokal film impor di Indonesia, tetapi ada 7 distributor film impor di Indonesia, hanya saja kedua PT tersebut mengimpor film impor yang paling banyak dibandingkan dengan distributor lokal lainnya atau sekitar 75% dari total film impor yang ditayangkan di bioskop.

B.       Tunggakan Pajak Royalti Film Impor Oleh Distributor Lokal
Masalah film impor mulai terjadi ketika dua PT tersebut bersama distributor lainnya, yaitu PT. Amero Mitra Film berhenti mengimpor film MPAA ke Indonesia. Akibatnya pengusaha bioskop kehilangan pasokan film impor sebagai pemasukan mereka, padahal film imporlah atau dalam hal ini film MPAA yang menjadi pemasukan utama mereka karena hampir 75% film yang bioskop tayangkan adalah film-film yang didistribusikan oleh MPAA bersama rekan distributor Indonesia.
Pada mulanya alasan yang berkembang adalah karena rekan bisnis mereka, MPAA melakukan aksi mogok sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang mengeluarkan aturan baru dalam perpajakan film impor melalui adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE – 3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor (“SE Dirjen Pajak”) yang mulai berlaku efektif 2011.
Aturan tersebut dirasakan memberatkan distributor baik MPAA maupun distributor karena pajak yang dibayarkan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Akan tetapi hal tersebut dibantah oleh pemerintah yang mengatakan bahwa SE Dirjen Pajak tersebut bukan merupakan aturan baru, tetapi SE Dirjen Pajak tersebut merupakan penegasan atas aturan perpajakan yang mengatur film impor sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. Dalam audit perpajakan yang dilakukan di bawah Menteri Keuangan ditemukan bahwa distributor film lokal telah lalai membayar pajak dengan nilai tunggakan 30 milyar rupiah dan denda sebesar 300 milyar rupiah[15].
Berdasarkan audit tersebut, tunggakan pajak distributor di atas berasal dari pajak royalti berdasarkan PPh Pasal 26 Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan selama dua tahun dari tahun 2009[16]. Atas dasar itulah Menteri Keuangan melalui direktorat jenderal pajak mengeluarkan SE Dirjen Pajak tersebut yang bersifat menegaskan aturan yang perundangan yang telah ada.
Pihak distributor merasa keberatan dengan tagihan tersebut karena mereka selama ini merasa sudah membayar pajak. Menurut mereka perhitungan tagihan pajak yang didasarkan pada royalti merupakan penafsiran yang salah. Selain itu menurut mereka pungutan royalti tidak lazim dalam industri perfilman di seluruh dunia. Selama ini pihak distributor mengaku bahwa mereka sudah membayar pajak. Hanya saja penghitungan pajak yang dibayarkan distributor didasarkan pada nilai barang masuk, yaitu nilai rol tiap film impor sebesar 0,43 US$ per meter.
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah timbul karena adanya dua penafsiran yang berbeda dalam ukuran yang menjadi dasar pengenaan nilai pajak penghasilan film impor. Pihak pemerintah merasa bahwa nilai pengenaan film impor yang benar seharusnya diukur kepada royalti, sedangkan pihak distributor merasa bahwa selama ini mereka sudah membayar pajak dengan benar yang diukur kepada nilai barang yaitu rol film. Oleh karena itu keabsahan dari pengenaan pajak berdasarkan royalti terhadap film impor inilah yang menjadi sumber analisis tulisan yang dipaparkan oleh Penulis dalam kesempatan kali ini.


BAB IV
ASPEK HUKUM PUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN ATAS ROYALTI TERHADAP FILM IMPOR

A.      Pengenaan Pajak Royalti Terhadap Film Impor
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dasar hukum pengenaan pajak royalti terhadap film impor sudah ada sebelum Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE – 3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor (“SE Dirjen Pajak”) ada. Dengan kata lain SE Dirjen Pajak lebih berfungsi sebagai surat perintah bayar terhadap wajib pajak, dalam hal ini distributor film impor di Indonesia untuk membayar pajak yang menjadi kewajibannya terhadap pemerintah. Adapun dasar hukum yang dimaksud tersebut adalah Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh Baru).
Sebagaimana SE Dirjen Pajak mengutip ketentuan dalam Pasal 4 Ayat (1) Huruf h UU PPh Baru disebutkan bahwa royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas (salah satunya) penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.
Lebih lanjut mengenai pengaturan pajak royalti film impor dalam Pasal 26 UU  Ayat (1) Huruf c UU PPh Baru yang ditegaskan dalam SE Dirjen Pajak, dijelaskan bahwa besar pajak royalti yang dimaksud adalah sebesar 20% dari penghasilan bruto (kotor) apabila penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu. Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai ukuran penghasilan kotor tersebut, namun kiranya dapat ditafsirkan bahwa penghasilan kotor tersebut diukur dari pendapatan hasil peredaran film impor sebelum dipotong keuntungan bioskop dan distributor. Besaran pajak 20% tersebut tidak mengikat karena bisa dikecualikan dengan ketentuan yang diatur secara khusus (lex specialis) melalui perjanjian bilateral mengenai persetujuan penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan negara yang menjadi asal film impor apabila memang ada.
 Pengecualian lainnya mengenai besar pajak penghasilan mengenai royalti sebesar 20% tersebut dapat dilakukan apabila pada proses film impor tersebut  seluruh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari atau diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya, maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti 20% sebagaimana dimaksud dalam pajak penghasilan Pasal 26 UU PPh Baru. Perhitungan atas royalti yang tidak didasarkan pada pajak penghasilan  Pasal 26 UU PPh Baru tersebut tidak dijelaskan dalam SE Dirjen Pajak ini. Dengan demikian sebenarnya ketentuan mengenai besarnya pajak royalti tersebut dapat berubah-ubah dengan menggantungkan pada beberapa faktor, yaitu:
1.         Ada tidaknya perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara asal film impor;
2.         Isi dari kontrak antara pihak MPAA dengan distributor itu sendiri yang dapat merubah besaran pajak penghasilan atas royalti yang dikenakan.
Untuk lebih mengetahui ketentuan pajak penghasilan atas royalti mana yang diberlakukan dalam masalah film impor sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini, perlu dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu tentang isi kontrak antara pihak MPAA dengan distributor film impor yang sayangnya data tersebut tidak dimiliki oleh Penulis. Akan tetapi bagaimanapun perhitungan yang ditetapkan terhadap film impor MPAA, pajak penghasilan atas royalti secara sah bisa dikenakan terhadap film impor.

B.       Penghitungan Pajak Royalti Terhadap Film Impor
Untuk penghitungan pajak royalti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas terlebih dahulu dipaparkan ilustrasi sebagai berikut[17]:


1 USD = Rp.9.000,-
No.
Judul
Studio
Bulan Edar
Hasil Edar



Awal
Akhir
USD
Rp.
1
Avatar
Fox

April
6.085.529
54.769.761.000
2
Sherlock Holmes
WB
Jan
Mar
2.163.216
19.468.944.000
3
Alvin and the Chipmunks
Fox


876.785
7.891.065.000
4
The Princess and the Frog
Disney
Jan
Feb
308.570
2.777.130.000
5
2012
Sony


6.637.512
59.737.608.000
6
Ninja Assasin
WB

Mar
1.862.728
16.764.552.000
7
Old Dogs
Disney

April
437.868
3.940.812.000
8
Did you Hear about the Morgans
Sony
Jan
Feb
157.376
1.416.384.000
9
Tooth Fairy
Fox
Jan
Feb
451.197
4.060.773.000
10
Legion (2010)
Sony
Jan
Mar
668.879
6.019.911.000
11
Case 39
UIP
Jan
April
119.057
1.071.513.000
12
Percy Jackson & The Olympians: The Lightning Thief
Fox
Feb
May
1.554.109
13.986.981.000
13
Valentine's Day
WB
Feb
Mar
428.149
3.853.341.000
14
The Wolfman
UIP
Feb
May
1.101.085
9.909.765.000
15
Up In The Air
UIP
Feb
April
154.220
1.387.980.000
16
Alice In Wonderland (2010)
Disney
Mar
June
2.047.959
18.431.631.000
17
Shutter Island
UIP
Mar
April
624.752
5.622.768.000
18
Green Zone
UIP
Mar
May
905.152
8.146.368.000
19
How To Train Your Dragon
UIP
Mar
July
1.560.733
14.046.597.000
20
It's Complicated
UIP
Mar
April
112.676
1.014.084.000
21
Clash of the Titans (2010)
WB
Apr
June
3.164.699
28.482.291.000
22
When in Rome
Disney
Apr
Sept
317.776
2.859.984.000
23
The Lovely Bones
UIP
Apr
April
65.710
591.390.000
24
The Book of Eli
Sony
Apr
Sept
606.113
5.455.017.000
25
Date Night
Fox
Apr
May
364.047
3.276.423.000
26
Cop Out
WB
Apr
July
225.146
2.026.314.000
27
Toy Story 1 & 2 (3D)
Disney
Apr
April
65.049
585.441.000
28
Iron Man 2
UIP
Apr
July
4.487.383
40.386.447.000
29
The Bounty Hunter
Sony
May
Nov
225.324
2.027.916.000
30
A Nightmare on Elm Street (2010)
WB
May
Dec
399.654
3.596.886.000
31
Robin Hood
UIP
May
July
1.880.555
16.924.995.000
32
Shrek Forever After
UIP
May
June
1.621.226
14.591.034.000
33
Prince of Persia: The Sand of Time
Disney
May
Sept
4.105.296
36.947.664.000
34
The Losers
WB
May
Dec
152.918
1.376.262.000
35
Sex and the City 2
WB
June
July
919.926
8.279.334.000
36
The Karate Kid
Sony
June
Sept
3.346.220
30.115.980.000
37
Toy Story 3
Disney
June
Aug
2.433.492
21.901.428.000
38
Despicable Me
UIP
July
Sept
1.494.925
13.454.325.000
39
Inception
WB
July
Sept
2.381.245
21.431.205.000
40
The Sorcerer's Apprentice
Disney
July
Nov
2.007.847
18.070.623.000
41
Salt
Sony
July
Oct
2.612.235
23.510.115.000
42
The Last Airbender
UIP
Aug

3.185.064
28.665.576.000
43
The Back-Up Plan
Sony
Aug
Aug
109.744
987.696.000
44
Cats & Dogs: Revenge of Kitty Galore
WB
Aug
Oct
632.353
5.691.177.000
45
Grown Ups
Sony
Aug
Oct
465.870
4.192.830.000
46
Resident Evil: Afterlife
Indep.
Sept
Oct
588.583
5.297.247.000
47
Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole
WB
Oct
Nov
632.062
5.688.558.000
48
The Other Guys
Sony
Oct
Nov
346.887
3.121.983.000
49
Predators
Fox

Oct
789.793
7.108.137.000
50
Going the Distance
WB
Oct
Oct
82.287
740.583.000
51
Zombieland
Sony
Oct

225.259
2.027.331.000
52
Eat Pray Love
Sony
Oct

1.476.834
13.291.506.000
53
Cloudy with a Chance of Meatballs
Sony

Oct
667.890
6.011.010.000
54
Life as We Know It
WB
Oct
Nov
280.442
2.523.978.000
55
Takers
Sony
Oct

746.583
6.719.247.000
56
Megamind
UIP
Nov

1.260.778
11.347.002.000
57
The Social Network
Sony
Nov

337.652
3.038.868.000
58
You Again
Disney
Nov

157.426
1.416.834.000
59
Harry Potter and the Deathly Hallows (Part One)
WB
Nov

6.140.152
55.261.368.000
60
Tangled
Disney
Nov

1.843.214
16.588.926.000
61

UIP
Dec

267.447
2.407.023.000
62
Due Date
WB
Dec

309.103
2.781.927.000
63
Tron Legacy
Disney
Dec

2.239.466
20.155.194.000
64
Devil
UIP
Dec

192.263
1.730.367.000
65
The Tourist
Sony
Dec

800.734
7.206.606.000
Total Hasil Edar Film Hollywood 2010 (65 judul) =
84.912.224
764.210.016.000


Keterangan
USD
Rp.
Total Hasil Edar Film Hollywood  2010 = 65 judul
84.912.224
764.210.016.000
Rata - rata Hasil Edar per Judul
1.306.342
11.757.077.169
Bila disetorkan ke luar negeri 50% menjadi
/tahun
42.456.112
382.105.008.000





Dari data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2010 pihak distributor meraup keuntungan dari peredaran 65 film  yang didistribusikan MPAA dan mitranya sebesar US$ 84.912.224 atau Rp 764.210.016.000,-. Apabila setengah dari hasil tersebut disetorkan kepada MPAA dalam suatu sistem bagi hasil dalam perjanjian kontrak mereka, maka distributor masih mendapatkan keuntungan sebesar  US$ 42.456.112 atau Rp 382.105.008.000,-
Dengan berdasarkan pada asumsi bahwa ketentuan mengenai pajak penghasilan atas royalti dalam masalah film impor sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU  Ayat (1) Huruf c UU PPh Baru tersebut diatas dapat diambil  penghitungan Rp 382.105.008.000,- dikalikan 20% sama dengan Rp 76.421.001.600,- Dengan demikian berarti pajak penghasilan atas royalti yang harus dibayarkan kepada pemerintah untuk tahun 2010 saja adalah sebesar Rp 76.421.001.600 untuk 65 judul film MPAA atau sebesar Rp 1.175.707.716,- per judulnya. Hitungan tersebut sangat mungkin berbeda dengan kenyataan di lapangan karena dipengaruhi faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya.
Sementara itu sebelum keluarnya SE Dirjen Pajak yang menjadi awal polemik film impor tersebut, pihak distributor pajak membayar kewajiban pajaknya tidak didasarkan pada royalti, melainkan kepada nilai rol film yang menjadi objek royalti tersebut. Nilai pajak yang dibayarkan tentu saja dapat berbeda jauh antara pajak yang dibayarkan berdasarkan royalti dan pajak yang didasarkan kepada nilai rol film, karena dengan royalti nilai pajak yang dibayarkan antara satu film impor dengan film impor lainnya sangat mungkin berbeda tergantung laris tidaknya film tersebut di pasaran bioskop di Indonesia, sementara nilai rol film tidak membedakan antara film impor yang laris dengan yang kurang laris karena pada intinya harga rol filmnya tetap sama.
1.      Ilustrasi berdasar per film:
Film Avatar produksi 20th Century Fox pada peredarannya di Indonesia pada tahun 2009-2010 menghasilkan keuntungan kotor sebesar US$ 6.085.529,- atau sebesar Rp 54.769.761.000,-. Apabila keuntungan tersebut dibagi dua berdasarkan sistem bagi hasil dengan MPAA, maka disttributor masih mendapatkan keuntungan sebesar Rp 27.384.880.500,-. Berdasarkan nilai royalti Pasal 26 UU PPh Baru sebesar 20% seharusnya nilai pajak penghasilan atas royalti yang dibayarkan kepada pemerintah adalah sebesar Rp 27.384.880.500,- dikalikan 20% atau sebesar Rp 5.476.976.100,-sedangkan apabila pajak yang dibayarkan distributor dihitung berdasarkan nilai rol film, berarti nilai pajak yang dibayarkan oleh mereka adalah sebesar US$ 0,43, dikalikan panjang rol film Avatar (berkisar 2.000 sampai dengan 3000 meter atau kurang lebih senilai US$ 1.000 atau sebesar, ket*), dikalikan 20% atau kurang lebih sebesar 1,5 sampai dengan 2,5 juta rupiah. Seandainya jumlah rol film Avatar yang diimpor oleh distributor adalah sebanyak 50 rol film untuk ditayangkan di 50 layar bioskop, berarti nilai pajak yang dibayarkan oleh distributor adalah sebesar 125 juta rupiah. Dari sini terlihat disparitas nilai pajak yang sangat jauh berbeda antara pajak penghasilan atas royalti dengan pajak penghasilan yang didasarkan kepada nilai rol film karena berdasarkan pajak penghasilan atas royalti nilai pajak yang dibayarkan seharusnya adalah Rp 5.476.976.100,-, sedangkan berdasarkan nilai rol film pajak penghasilan yang dibayarkan hanya berkisar Rp 125 juta.
2.      Ilustrasi berdasarkan jumlah film impor MPAA per tahun 2010 di Indonesia
Pada tahun 2010 peredaran film MPAA di Indonesia berjumlah 65 judul dengan total nilai pajak penghasilan atas royalti sebesar Rp 76.421.001.600, sedangkan nilai pajak penghasilan yang didasarkan kepada nilai rol film sebesar US$ 0,43, dikalikan panjang rol film MPAA (yang panjang sangat bervariatif antara 2.000 meter sampai dengan 3.000 meter, ket*), dikalikan jumlah rol film impor yang diimpor distributor dari MPAA yang berkisar 500 sampai dengan 800 rol film dari total 65 judul film atau berkisar senilai kurang lebih Rp 5 milyar untuk tahun 2010 saja.
Dari kedua ilustrasi di atas dapat dilihat perbedaan yang sangat jauh antara pajak penghasilan yang seharusnya dibayar, dengan pajak penghasilan yang selama ini dibayar. Perbedaan tersebut disebabkan karena tolak ukur yang berbeda dari pajak penghasilan yang didasarkan kepada royalti dan pajak penghasilan yang didasarkan kepada nilai rol film.
Sistem pembayaran pajak penghasilan di Indonesia yang menganut asas self assesment menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa masalah pajak penghasilan atas royalti film impor baru muncul sekarang. Pada sistem pajak yang bersifat self assesment, wajib pajak dalam hal ini distributor film diberikan wewenang untuk membuat pelaporan atas pajak penghasilannya sendiri. Dengan kata lain sistem self assesment pada pajak penghasilan menuntut wajib pajak untuk aktif dalam melaksanakan kewajiban maupun hak perpajakannya dengan pengawasan adanya audit dari perpajakan apabila sewaktu-waktu ditemukan adanya nilai pelaporan atas pajak penghasilan yang tidak sesuai dengan penghasilan wajib pajak.
Sistem self assesment pada pajak penghasilan membuka celah bagi wajib pajak tertentu yang seringkali tidak melaporkan nilai pajak penghasilan yang sebenarnya, dalam hal ini distributor film MPAA di Indonesia tidak melaporkan pajak penghasilan yang sebenarnya dari penghasilan pendapatan film impor yang didapatkannya. Baru setelah adanya audit dari departemen pajak, ditemukan bahwa selama ini nilai pajak penghasilan yang dilaporkan distributor film MPAA di Indonesia  berbeda jauh dengan penghasilan yang didapatkan dari peredaran film MPAA di Indonesia.

A.      Solusi Dalam Masalah Pajak Penghasilan Atas Royalti  Film Impor
Seperti yang telah dijelaskan dengan dasar hukumnya bahwa pada dasarnya secara sah film impor dapat dikenakan pajak penghasilan atas royalti. Bahwa pihak distributor film MPAA selama ini telah melakukan kurang bayar atas pajak penghasilannya dengan didasarkan kepada perhitungan pajak penghasilan yang keliru tidak mengakibatkan kekurangan pajak penghasilan yang seharusnya dibayarkan menjadi pupus atau hilang. Dengan kata lain pajak tersebut tetap harus dibayarkan.
Mengingat bahwa industri perfilman dan bioskop di Indonesia sangat menggantungkan nasibnya kepada pasokan film impor MPAA karena hampir 75% pemasukan pengusaha bioskop berasal dari film MPAA. Mengingat bahwa nasib pekerja  di industri ini yang terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kurangnya pasokan film MPAA di bioskop Indonesia. Mengingat bahwa akibat tidak adanya film MPAA di bioskop Indonesia mengakibatkan sebagian masyarakat Indonesia pergi ke luar negeri untuk menyaksikan film MPAA sehingga mengakibatkan hilangnya devisa terhadap negara Indonesia, maka oleh karena itu dilakukan penyelesaian hukum sesegera berupa musyawarah atau negosiasi tiga pihak antara pemerintah, distributor dan MPAA untuk mencari solusi yang terbaik mengenai masalah pajak film impor, karena apapun alasan berhentinya pasokan film impor, khususnya film MPAA di Indonesia, baik itu karena sikap mogok yang dilakukan oleh MPAA sebagai bentuk protes terhadap  regulasi pemerintah Indonesia, ataupun karena pemerintah Indonesia bersikeras memberhentikan impor film MPAA sebagai suatu bentuk sanksi terhadap kurangnya pembayaran pajak penghasilan atas royalti oleh distributor, apabila masalah ini terus berlarut-larut akan mengakibatkan kemungkinan terjadinya kebangkrutan di industri film dan bioskop di Indonesia yang berarti hal tersebut akan menimbulkan masalah baru seperti pengangguran, hilangnya devisa negara dan masalah sosial-politik seperti timbulnya kebencian terhadap pemerintah dari masyarakat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.       Kesimpulan
Film impor adalah sah merupakan objek dalam pajak penghasilan atas royalti sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh Baru) sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE – 3/PJ/2011 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor (“SE Dirjen Pajak”).
Distributor film MPAA selama ini telah melakukan kurang bayar atas pajak penghasilannya dengan didasarkan kepada perhitungan pajak penghasilan yang keliru berdasarkan perhitungan yang didasarkan kepada nilai rol film, padahal nilai yang seharusnya dijadikan tolak ukur adalah  royalti.

A.       Saran
Musyawarah atau negosiasi tiga pihak antara pemerintah, distributor dan MPAA untuk mencari solusi yang terbaik mengenai masalah pajak film impor guna menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin untuk mencegah kerugian lebih lanjut, tanpa mengesampingkan kewajiban pembayaran pajak penghasilan atas royalti yang selama ini kurang bayar.




[1] Gabungan asosiasi rumah produksi dan distributor film internasional yang terdiri dari 6 rumah produksi dan distributor besar Hollywood yaitu: Walt Disney, Sony Pictures, Paramount Pictures, 20th Century Fox, Universal Studios dan Warner Bros.
[2] Baca: Film Hollywood Tidak Lagi Tayang di Indonesia. Diakses melalui http://www.tempointeraktif.com/hg/film/2011/02/18/brk,20110218-314494,id.html
[3] Baca: Film Nasional Mati Jika Bioskop Mati. Diakses melalui: http://oase.kompas.com/read/2011/02/18/14054546/Film.Nasional.Mati.Jika.Bioskop.Mati
[4] Baca: MPAA Bantah Boikot Film Hollywood Di Indonesia. Diakses melalui http://www.tempointeraktif.com/hg/film/2011/02/23/brk,20110223-315477,id.html
[5] Baca: 250 Film Impor Tunggak 250 Milyar. Diakses melalui http://nasional.kompas.com/read/2011/02/25/07084971/
[6] Baca: Puluhan Ribu Karyawan Bioskop Terancam Jadi Pengangguran. Diakses melalui http://economy.okezone.com/read/2011/02/19/320/426493/puluhan-ribu-karyawan-bioskop-terancam-jadi-pengangguran
[7] Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2002, hlm 82.
[8] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, 1982, hlm 10.
[9] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan IV, Jakarta: Radja  Grafindo Persada, 2001, hlm 37.
[10] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Jakarta: UI PRESS, 1986, hlm. 52.
[11] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2002, Penerbit Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm 175
[12] Penjelasan Pasal 4 Angka (1) Huruf h  Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
[13]  Lihat Pasal 26 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
[14] Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan.
[15] Baca: 250 Film Impor Tunggak 250 Milyar. Op Cit.
[16] Ibid
[17]  Indonesia Box Office Index dalam Deddy Mizwar-Rudy Sanyoto: Meluruskan Masalah Film Impor. Diakses melalui http://filmindonesia.or.id/post/deddy-mizwar-rudy-sanyoto-meluruskan-masalah-film-impor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar